Patriot NKRI - Tepat 68 tahun lalu, menjelang hari Minggu, 19 Desember 1948, ibukota republik yang saat itu berada di Yogjakarta diduduki oleh militer Belanda. Tak hanya itu, mereka pun menjadikan para pemimpin republik ini yang saat itu berada di sana sebagai tawanan mereka.
Letjen Simon Hendrik Spoor sebagai panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, memberikan instruksi pada seluruh tentara Belanda yang berada di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan ke Yogyakarta. Serangan yang dilakukan oleh Belanda ini kemudian dikenal dengan sebutan Clash II atau Agresi Militer Belanda II.
Sabtu malam, Spoor didampingi Panglima Divisi C Mayjen Engels menghampiri pasukan para (penerjun) pilihan di sebuah hanggar Pangkalan Udara Andir, Bandung.
Serangan yang juga dikenal sebagai Kraii Operatie atau Operasi Gagak merupakan operasi pamungkas yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia. Belanda mengerahkan pasukan baret merah terbaiknya untuk diterjunkan ke Maguwo.
“Tugas kalian, membebaskan Yogyakarta dari tangan ekstremis serta menangkap Sukarno bersama pengikutnya,” kata Spoor, seperti ditulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja (2009),
Setelah pasukan-pasukan penerjun Belanda menaiki pesawat C-47 Dakota pada pukul 4:20 pagi, mereka langsung bergerak menuju drop zone usai menerima laporan dari pesawat pemburu Belanda yang sukses melakukan serangan pembuka di ibukota.
Pada pukul 6:45, satu kompi pasukan baret merah Belanda (Dutch Paratrooper) mulai melompat dari Dakota yang membawa mereka. Dalam kurun waktu 25 menit, mereka berhasil melumpuhkan 150 tentara Indonesia yang menjaga Pangkalan Udara Maguwo, tulis Jaap de Moor dalam Westerling’s oorlog (1999). Pertarungan tersebut berhasil menewaskan 128 tentara Indonesia yang menjaga pangkalan itu, sementara dari pihak Belanda tak ada satu korban pun yang jatuh.
Mereka pun segera membersihkan pangkalan Maguwo agar Dakota yang mereka gunakan dapat mendatar. Di titik yang sama, pesawat yang mengangkut pasukan baret hijau Belanda (dahulu dipimpin Kapten Raymond Westerling) dari Semarang juga mendarat. Jumlah kedua pasukan tersebut sekitar 432 personel dan dipimpin Letnan Kolonel van Beek.
Seperti tertulis Dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948 (2006), moral pasukan Belanda dalam Aksi Polisionil II itu dipenuhi optimisme tinggi. Mereka berhasil menembus pertahanan darat TNI di garis demarkasi yang dipasangi rintangan berat oleh Divisi II Gunungjati. Brigade Tijger, terutama Korps Speciale Troepen (korps pasukan khusus militer Belanda) bergerak di sisi selatan rel kereta api dan menyusun serangan dengan membagi tiga kolone.
“Kolone-kolone itu memakai taktik pasukan komando dalam kelompok-kelompok kecil, membawa banyak persenjataan otomatis serta komunikasi yang baik,” tutur Himawan Soetanto dalam buku itu.
Kira-kira pukul 15:00, pasukan yang dikomandoi van Beek tiba di depan Istana Gedung Agung, sebelah selatan Malioboro. Di sana hanya terdapat Kompi II Corps Polisi Militer (CPM) yang dipimpin Lettu Susetio. Tak imbang kuantitas serta tanpa bala bantuan, kondisi pasukan Susetio makin terjepit dalam aksi tembak-menembak.
Seorang anak buah Susetio, Letnan Dua Sukotjo Tjokroatmodjo, mengusulkan kepadanya untuk segera membawa pergi Presiden Soekarno dan jajaran pejabat sipil lain keluar dari Istana, sementara itu Sukotjo bersama 30 personel CPM lainnya akan bertempur melawan tentara Belanda.
Namun Soekarno malah memberi perintah kepada Susetio untuk berhenti menembak, sambil menunggu kedatangan van Beek di depan Istana. Kala itu Soekarno didampingi Kepala Staf Angkatan Udara Soerjadi Soerjadarma, Sekretaris Negara Mohammad Ichsan, dan Menteri Luar Negeri Agus Salim.
Letkol van Beek pun menemui Soekarno. Setelah memberi hormat, van Beek berkata: “Anda sekarang dalam tahanan rumah. Tuan Soekarno, saya mendesak kepada Tuan supaya Tuan memerintahkan kepada pasukan-pasukan Tuan agar menyerah. Jika tidak melakukannya, saya jamin kepada Tuan bahwa seluruh tentara Tuan akan dihancurkan dalam satu minggu.”
Rosihan Anwar dalam Musim Berganti (1985) menyebutkan, serangan di hari Minggu itu melicinkan militer Belanda menguasai kantor telepon pada pukul 11 siang. Satu jam kemudian mereka berhasil merebut gedung Radio Republik Indonesia (RRI) dan pada pukul 15:30 seluruh kota telah berhasil dikuasai militer Belanda.
Bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta para pejabat tinggi lain di Yogyakarta, Soekarno dibawa tentara Belanda dan diasingkan ke Sumatera. Sementara Panglima Besar Soedirman dan sekelompok tentara beserta dokter pribadinya, lebih memilih untuk melakukan perang gerilya di luar kota.
Letjen Simon Hendrik Spoor sebagai panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, memberikan instruksi pada seluruh tentara Belanda yang berada di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan ke Yogyakarta. Serangan yang dilakukan oleh Belanda ini kemudian dikenal dengan sebutan Clash II atau Agresi Militer Belanda II.
Sabtu malam, Spoor didampingi Panglima Divisi C Mayjen Engels menghampiri pasukan para (penerjun) pilihan di sebuah hanggar Pangkalan Udara Andir, Bandung.
Serangan yang juga dikenal sebagai Kraii Operatie atau Operasi Gagak merupakan operasi pamungkas yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia. Belanda mengerahkan pasukan baret merah terbaiknya untuk diterjunkan ke Maguwo.
“Tugas kalian, membebaskan Yogyakarta dari tangan ekstremis serta menangkap Sukarno bersama pengikutnya,” kata Spoor, seperti ditulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja (2009),
Setelah pasukan-pasukan penerjun Belanda menaiki pesawat C-47 Dakota pada pukul 4:20 pagi, mereka langsung bergerak menuju drop zone usai menerima laporan dari pesawat pemburu Belanda yang sukses melakukan serangan pembuka di ibukota.
Pada pukul 6:45, satu kompi pasukan baret merah Belanda (Dutch Paratrooper) mulai melompat dari Dakota yang membawa mereka. Dalam kurun waktu 25 menit, mereka berhasil melumpuhkan 150 tentara Indonesia yang menjaga Pangkalan Udara Maguwo, tulis Jaap de Moor dalam Westerling’s oorlog (1999). Pertarungan tersebut berhasil menewaskan 128 tentara Indonesia yang menjaga pangkalan itu, sementara dari pihak Belanda tak ada satu korban pun yang jatuh.
Mereka pun segera membersihkan pangkalan Maguwo agar Dakota yang mereka gunakan dapat mendatar. Di titik yang sama, pesawat yang mengangkut pasukan baret hijau Belanda (dahulu dipimpin Kapten Raymond Westerling) dari Semarang juga mendarat. Jumlah kedua pasukan tersebut sekitar 432 personel dan dipimpin Letnan Kolonel van Beek.
Seperti tertulis Dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948 (2006), moral pasukan Belanda dalam Aksi Polisionil II itu dipenuhi optimisme tinggi. Mereka berhasil menembus pertahanan darat TNI di garis demarkasi yang dipasangi rintangan berat oleh Divisi II Gunungjati. Brigade Tijger, terutama Korps Speciale Troepen (korps pasukan khusus militer Belanda) bergerak di sisi selatan rel kereta api dan menyusun serangan dengan membagi tiga kolone.
“Kolone-kolone itu memakai taktik pasukan komando dalam kelompok-kelompok kecil, membawa banyak persenjataan otomatis serta komunikasi yang baik,” tutur Himawan Soetanto dalam buku itu.
Kira-kira pukul 15:00, pasukan yang dikomandoi van Beek tiba di depan Istana Gedung Agung, sebelah selatan Malioboro. Di sana hanya terdapat Kompi II Corps Polisi Militer (CPM) yang dipimpin Lettu Susetio. Tak imbang kuantitas serta tanpa bala bantuan, kondisi pasukan Susetio makin terjepit dalam aksi tembak-menembak.
Seorang anak buah Susetio, Letnan Dua Sukotjo Tjokroatmodjo, mengusulkan kepadanya untuk segera membawa pergi Presiden Soekarno dan jajaran pejabat sipil lain keluar dari Istana, sementara itu Sukotjo bersama 30 personel CPM lainnya akan bertempur melawan tentara Belanda.
Namun Soekarno malah memberi perintah kepada Susetio untuk berhenti menembak, sambil menunggu kedatangan van Beek di depan Istana. Kala itu Soekarno didampingi Kepala Staf Angkatan Udara Soerjadi Soerjadarma, Sekretaris Negara Mohammad Ichsan, dan Menteri Luar Negeri Agus Salim.
Letkol van Beek pun menemui Soekarno. Setelah memberi hormat, van Beek berkata: “Anda sekarang dalam tahanan rumah. Tuan Soekarno, saya mendesak kepada Tuan supaya Tuan memerintahkan kepada pasukan-pasukan Tuan agar menyerah. Jika tidak melakukannya, saya jamin kepada Tuan bahwa seluruh tentara Tuan akan dihancurkan dalam satu minggu.”
Rosihan Anwar dalam Musim Berganti (1985) menyebutkan, serangan di hari Minggu itu melicinkan militer Belanda menguasai kantor telepon pada pukul 11 siang. Satu jam kemudian mereka berhasil merebut gedung Radio Republik Indonesia (RRI) dan pada pukul 15:30 seluruh kota telah berhasil dikuasai militer Belanda.
Bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta para pejabat tinggi lain di Yogyakarta, Soekarno dibawa tentara Belanda dan diasingkan ke Sumatera. Sementara Panglima Besar Soedirman dan sekelompok tentara beserta dokter pribadinya, lebih memilih untuk melakukan perang gerilya di luar kota.
Sumber: angkasa.co.id